Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Agustus 2011

KISAH CINTA ALI DAN FATIMAH


Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

Referensi Lainnya : http://forumbisnisdanpromosi.blogspot.com/2011/08/bukalah-hatimu.html


~♥~Ku Lepas Cintamu dari Hatiku~♥~ (kerana aku mencintaimu, maka inilah caraku mencintaimu)


Allah menghendaki kami sebuah pertemuan, aku mengagumi pribadinya yang sederhana dan shalih. Siapa sangka ternyata dia pun menyimpan rasa yang sama, bahakan dia mengutarakn perasaannya dengan langsung mengutarakan niatnya mengkhitbahku...
Namun sayang, cinta itu datang di saat yang belum tepat karena aku tidak bisa menerima pinangan darinya.. Aku masih punya amanah yang belum terselesaikan. Dan mungkin aku masih harus menanggung amanah itu 2tahun lagi.

Lalu, dia bersedia menungguku, menunggu di batas waktu, dan akupun menyetujuinya. Dia akan menjauh dengan dunianya dan akupun akan menjauh dengan duniaku sendiri. Tidak mungkin bagi kami mengikat cinta antara kami dengan hubungan kasih bernama PACARAN. Karena kami berdua faham betul tidak ada tuntunan pacaran dalam islam. Meskipun dalam hati kami takut jika kami tidak dapat bersatu karena tidak ada ikatan antara kami, tapi kami lebih takut pada-Nya jika harus menjalin asmara dalam keadaan kami yang faham syariat Islam.

Ku pikir menunggu di batas waktu itu mudah. Tapi ternyata menjalaninya tak semudah yang ku bayangkan. Apakah karena adanya campur tangan Syaitan atau akusendiri yang tak bisa mengendalikan nafsu ku sendiri? Rasa cinta yang ku simpan rapi dalam hati itu menjadi boomerang untukku sendiri. Rasa cinta itu berbuah rindu yang mecabik-cabik hatiku. Mampukah aku melarang bibirku untuk mengungkapkan rindu padanya? Mampukah aku tetap diam meski batinku menjerit perih karena rindu?? Dalam setiap sujudku, bayangannya pun tak mau absen menggangguku, bayangannya selalu hadir mengganggu kekhusuk'an shalatku, waktu senggangkupun di penuhi bayangan-bayangan masa depan hidup bersamanya, membuatku menjadi panjang angan-angan. Astaghfirullah.. apa yang terjadi padaku???

Jika orang yang berpacaran bisa mengobati kerinduan mereka dengan pertemuan, Menghubungi via telphone atau mengirim Message sebagai penawar rindunya, lalu aku , apa yang harus aku lakukan agar rasa rindu ini tidak lagi mencabik-cabik hatiku??? Istighfar.. ya Istighfar sebanyak-banyaknya, Tapi jika aku sudah kembali diam, rindu itu akan kembali datang merongrong kalbuku.

Rasa rindu yang semakin hari semakin menyiksaku akhirnya mampu membuatku khilaf, dengan mengucapkan padanya dan mengungkapakan betapa tersiksanya aku menaggung derita cinta ini. Aku benci diriku sendiri, kenapa aku tidak mampu menahan diri. Ternyata aku tidak mampu menunggunya dengan tetap diam menjaga Izzah sampai ke batas waktu. Meski aku tidak berpacaran dengannya, aku sudah banyak mengecewakan Rabb ku dengan mencintainya. Aku telah melakukan aktivitas yang tidak di sukai-Nya, merindukan dia melebihi rinduku pada-Nya, mengingat dia melebihi aku mengingat-Nya, Bahkan waktu sholatku yang menjadi waktu istimewa antara aku dan Rabbku pun tidak luput dari kejaran bayangannya.

Akhirnya Ku putuskan untuk berhenti.
Berhenti menanti batas waktu itu.
Berhenti berharap dan memberi harapan.
Aku tdk sanggup menanggung cinta itu jika harus bermaksiat pada-Nya.
Aku tdk sanggup menunggu, jika penantian itu bagaikan penyakit yang semakin hari semakin membuatku lemah dan menyiksa batinku.

Karena hati ini Milik-Nya dan menjaga hati ini adalah tanggung jawabku.

Aku akan melepasmu dari hatiku...
Aku tidak sanggup berharap jika harapan itu hanya membuatku panjang angan-angan.
Aku ingin mengembalikan rasa cinta itu kepada Yang Menganugerahkan. Karena hati ini Milik-Nya dan menjaga hati ini adalah tanggung jawabku.
Aku akan melepasmu dari hatiku...
Aku lebih memilih hidup tenang bersama Cinta-Nya.
Karena Cinta mu hanya menghadirkan kegundahan dan penderitaan.
Biarlah Allah Ta'ala yang memilihkan Calon Pangeran untukku dalam Genggaman-Nya. Ku harap Ia mempertemukan aku dengan Cinta itu, dengan
Pangeran itu nanti.. Di saat yang tepat, saat tidak ada alasan lagi bagiku untuk menolak pinangan dari seorang Pangeran yang mencintaiku Karena-Nya.
Ku Lepas Cintamu Dari Hatiku.....

by: Izinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran

cara Kami mencintaimu karenaNya
oleh Ghuroba' Fii Akhiriz Zamaan pada 13 Januari 2011 jam 8:28
Bismillahirrahmanirrahiim

Wahai Saudari Kami...
Mungkin kalian pernah mendapati Kami dalam keadaan dingin dan membisu
Terkesan cuek dan sombong
Padahal bisa saja, Kami membuka pembicaraan dan memecahkan suasana bersama kalian
Namun Kami sadar, bahwa tak layak bagi Kami bermudah-mudahan dikarenakan khawatir hal itu akan mengikis kadar rasa malu kalian terhadap Kami

Mungkin kalian pernah merasa risih ketika Kami tidak memperhatikan wajah ketika berbicara dengan kalian
Padahal memandang kalian ketika berbicara adalah mudah bagi Kami,
Namun ketahuilah,  dengan memalingkan wajah, Kami berharap agar kalian akan lebih berhati-hati dalam berbicara dan menjadikan keadaan itu lebih suci bagi hati masing-masing

Wahai Saudari Kami...
Mungkin kalian akan mengatakan Kami aneh ketika Kami melarangmu menelefon
Padahal, bisa saja Kami mengangkatnya setiap saat kalian menelefon
Namun Kami belajar untuk menghargai seseorang yang berhak akan mendampingi kalian kelak, dengan cara tidak berduaan dengan kalian dalam keadaan yang tidak ada yang menemani

Mungkin kalian akan kesal apabila Kami tak memberikan pesan penyemangat ketika kalian melaporkan kepada Kami tentang kegiatan yang dilakukan hari ini
Padahal mudah saja jika Kami harus mengirimkan sebuah pesan tersebut agar membuat jiwa kalian menjadi lebih bersemangat mengerjakannya
Namun, keberadaan Kami di sekitar kalian, Insya Allah Kami harap tidak menggoyahkan kesucian hati kalian dengan mengirimkan kepada kalian pesan-pesan yang seharusnya tidak pernah kalian terima dari Kami jika itu justru akan membuat kalian berangan-angan

Wahai Saudari Kami...
Bisa jadi sebuah harapan pernah terbesit dihati kalian sehingga mungkin kalian akan merasa gundah ketika Kami tidak pernah meminta meminang kalian
Padahal, bisa saja kami lakukan itu agar hati kalian senang
Namun Kami sadar bahwa Kami belum siap, maka Kami redamkan lidah ini untuk menyatakannya di dalam diam

Mungkin kalian akan datang meminta Kami agar kalian menanti
Padahal Kami mampu mengizinkan permintaan itu
Namun, apakah kalian tidak merasa sakit ketika suatu saat jodoh Kami adalah bukan diri-diri kalian? Bukankah usaha kalian untuk bersama Kami dengan cara menantikan Kami adalah sia-sia?

Atau mungkin saja kalian akan merasa gelisah ketika Kami tidak pernah meminta kalian menunggu Kami
Padahal bisa saja permintaan itu akan kalian indahkan ketika Kami memintanya kepada kalian
Namun kalian mesti ingat, Kami mencintai kalian atas dasar kesucian, maka Kami tidak akan meminta kalian untuk itu hanya karena ingin mempersilahkan laki-laki shaleh lain untuk meminang kalian
Bukankah kesucian yang kami inginkan untuk menikahi kalian? Jika demikian, maka lebih baik kalian menikah kepada laki-laki yang telah siap meminang tanpa harus membuat kalian menunggunya dalam sebuah janji terlebih lagi dalam ketidakpastian.

Atau bisa jadi, kalian bosan karena terlalu lama menunggu Kami untuk menyatakan sebuah ungkapan-ungkapan indah kepada kalian
Padahal, bisa saja Kami menyatakan itu untuk menyenangkan hati kalian
Namun, Diam adalah cara Kami mencintaimu karenaNya, berharap hal itu lebih memelihara kesucian hati Kami dan hatimu setelahnya...

Kami belajar mencintai kalian dalam keimanan
Berharap agar dapat menjaga rasa malu Kami dan memelihara kesucian hati kalian
Ya, inilah cara Kami mencintaimu karenaNya, diam dan tak pernah terucap hingga di ujung lidah yang lunak
Bahkan tidak pernah terlukiskan oleh aktifitas Kami yang dapat dilihat

Berharap menjadi pemalu seperti Rasul, Muhammad
Dan membawa kalian menjadi suci seperti Ibunda Isa, Maryam
Suci, tak pernah tersentuh laki-laki...

Semoga Allah memaafkan Kami ketika khilaf dan salah
Allahuma Amiiin

by: si Fulan yg Insya Allah senantiasa menjaga kesucian dirinya..

Ini nih…. Barisan kata berikut mungkin bisa menggambarkan ikhwan yang nggak mau nggombal.

Karena Aku Mencintaimu
Wahai Ukhty…
Karena aku mencintaimu, maka aku ingin menjagamu
Karena aku mencintaimu, aku tak ingin terlalu dekat denganmu
Karena aku mencintaimu, aku tak ingin menyakitimu

Karena cintaku padamu,
Tak akan kubiarkan cermin hatimu menjadi buram
Tak akan kubiarkan telaga jiwamu menjadi keruh
Tak akan kubiarkan perisai qolbumu menjadi retak, bahkan pecah

Karena cinta ini,
Ku tak ingin mengusik ketentraman batinmu,
Ku tak ingin mempesonamu,
Ku tak ingin membuatmu simpati dan kagum,
Atau pun menaruh harap padaku.

Maka biarlah…
Aku bersikap tegas padamu,
Biarlah aku seolah acuh tak memperhatikanmu,
Biarkan aku bersikap dingin,
Tidak mengapa kau tidak menyukai aku,
Bahkan membenciku sekali pun, tidak masalah bagiku….

Semua itu karena aku mencintaimu,
Demi keselamatanmu,
Demi kemuliaanmu.

So, sekali lagi bagi para ikhwan, jangan jualan gombal, jangan obral janji. Gak usah deh sok perhatian, terlebih lagi bilang suka atau cinta. Bisa fatal tuh akibatnya! Mau jadi orang dholim?? Tegaskan semenjak sekarang, hal seperti itu tabu kalau belum nikah. Kalau dah nikah sih … puas-puasin aja bilang cinta seratus kali sehari ama istrinya. Sampai dhower deh, terserah! ^_^